Minggu, 19 Juni 2011

Serenada Terakhir

"Sebuah puisi karya Restu Gusti Uji Panuntun, untuk farewell 2011, Karena paksaan? hhe, Rani Legiviani dan Ilya Rosdiana, sebagai sie.acara"

me gusto..

Gusti Uji Panuntun, dalam karyanya..

Serenada Terakhir

Nun,

Demi kalam, dan apa yang tlah mereka tulis

Demi pena yang menorehkan tinta..

Dan demi satu warkat yang terbuka..

Demi petang yang hilang tenggelam

Dan

Demi Yang Maha Memanggil, dan Mengembalikan

….

Selepas hujan,

Aku..

Aku adalah perempuan jalan di pematang..

Ketika jatuh senjakala

Sawah muda,, angin muda..

Aku tetap melangkahkan terlampau gontainya..

Sesaat nanti harus ku injak pelataran rumahku..

Dan menunggu, dalam wajah larut yang tertunduk..

Tentu malaikat penjagaku yang akan sedia membukakan..

Disambut diriku dengan lekuk di kedua lesung pipinya

Dan dua bola mata yang berkaca binar..

Seolah malaikat itu ingin tiba merangkul tubuhku yang basah

Basah oleh korosi dingin, yang enggan pun merenggut simpatiku padanya

Oh, perempuan yang malang..

Perempuan yang datang tanpa mengetuk lalu merangkulnya

Perempuan yang jingga neraka langit mengiyakan duka

Perempuan cendana dan bunga-bunga sutra kelabu purawa..

Adapun ini hanyalah sisa jenaka malang, dan ku sebut itu luka

Aku adalah perempuan jalan di pematang..

Ketika jatuh senjakala

Aku menendang tanah jingga

Dan aku membayangkan dengan terang,,

Bagaimana ia menatapku

Sesaat,

Ketika aku terjaga,, dan terbangun setelahnya..

Aku melangkahkan kaki keluar kamarku,

setibanya aku di ujung daun pintu yang sedikit terbuka..

Terdengar suara perempuan paruh yang tersedu sedan,,

Terdengar pilu ketika itu mulai memasuki liang pikirku..

Dan sembilu ketika itu teracap di lidahku,

Tlah berkali aku dengar nama ku terselip dalam baris doa dan asmaNya..

Kiranya aku acuh oleh tiap baris sajak doa nya

Aku buta oleh kabut dalam kehidupan tak suci

Oh, Aku melihat..

Dan yang aku lihat hanya kehampaan, dan fana belaka

Oh, Aku tetap menjadi dingin..

Dan telah putih tangan –tangan jiwaku berdebu..

Hai, malaikat penjagaku..

Sebut namamu.. siapakah dirimu,,

Aku tak mungkin mengenalmu ,

sedang kau pun selalu bersembunyi di balik sajadah mu,,

dan menangis seolah kau bercengkrama dengan seorang yang tiada..

dan demi kau yang bersujud,

Ada yang kau renungi..

Sepanjang malam

Tentang coba yang masih melintang

Tentang anugerah yang tertunda

Oh, malaikat penjagaku..

Aku tahu kau..

Tak lebih dari sepertiga bentang danau yang dalam usai kau seberangi, tuk menjagaku

Serintang panjang padang ombak kau telah lalui, tuk menjagaku

Juga setebing karang curam,

Jatuh kau lewati, tuk menjagaku

Dalam malam yang sama,

Yang kau lakukan hanyalah diam termangu dan menunggu,

Sesaat hari yang tlah berganti,

Aku tiba di pelataran yang sama..

Dan

Tak ku temukan malaikat yang sama di daun pintu rumahku

Dimana kah malaikat penjagaku ?

Dimana ?

Dimana ?

Malaikat penjaga ……

Malaikat penjaga……

(suara malaikat penjaga)

Engkau bulan lelap tidur dihatiku

Oleh sepi diriku yang terampas waktu

Semua didindingi kelam dan kedinginan

Maut atau ribaku menunggu di ujung jalan itu..

Engkau angin dingin dan tak berbadan

Gersik rumpun pimping, rumpun ilalang

Wahai, sedan yang terluput dari liang luka

Di hati arwah kecil dan putih

Malam terbungkam kabut tipis..

Senja di langit barat berkerumun sepi

Aku harus kembali,

Pada Yang Maha Memiliki..

(perempuan)

Kau berdoa di malam hujan

Dan tak seorang tahu

Dari mana datangmu

Kau berdoa di malam hujan

Entah datang dari mana datangnya

Telah lebih dulu kau tahu

Tentang kepergian dirimu

Kau..

(malaikat penjaga)

Duduk

Berdiri

Terdiam

Berbicara

Tertawa

Marah

Sedih,

Wajah itu tangan itu tubuh itu..

Telah aku pupuskan sajak di pasir itu

Dan

berdiri aku di hadapannya.. ketika,

datang,

arungi buas waktu

Berperahu pada laut yang mati..

Kau ..

Kau yang terakhir

Kau yang melukis sajak di atas kafan yang mengambang

Mengarahkan perjalanan

Dimana harus kau temukan

Pelabuhan..

(perempuan)

Selepas hujan,

Aku..

Aku adalah perempuan jalan di pematang..

Ketika jatuh senjakala

Dan ku tahu..

Dan kini aku sungguh dalam kebenaran

Mengerti…

Saat ia nyata di depan mata dan dirasa

Keberadaannya adalah wajar saja

Sungguh kenikmatan itu baru terasa

Ketika ia telah tiada

Dan aku tahu kau..

Kau adalah Bunda..

Bunda..

Kau adalah mutiara di lumpur jiwa

Di rimba akasia aku tersedan tersedu

Seiring kabut yang berlalu..

Sebening air mata bunda

Bunga diri penjelmaan hati

Kristal hati tak bertepi

Ombak bersabung di kota yang mati

Bunda…

kau adalah nama bagi malaikat penjagaku..



1 komentar:

hariantocanecity.blogspot.com mengatakan...

assalamualaikum wrb.
mbak ini betul dengan puisi karangan saudara restu gusti uji panuntun akrab ya bang gusti enggak mbak..?