Mr.Jo, guru B.Inggrisku menyuruh kami untuk membawa sebuah gambar kartun atau sejenisnya yang berbentuk manusia ke sekolah. Nantinya gambar itu akan dirangkai menjadi sebuah pohon keluarga menurut kelompok yang telah ditentukan.
Malam itu aku sedang mencari-cari sebuah gambar yang lucu untuk dijadikan tugas dari Mr.Juar. Aku mencari dari majalah bobo dan inno.
“Duh, yang mana ya?” kataku sambil mencari.
Setelah beberapa lama mencari, akhirnya kutemukan juga. Aku tertarik pada sebuah gambar yang berada pada halaman majalah inno. Gambar itu aku peroleh dari sebuah cerpen dengan judul Ibu Guru Ku Cerewet Sekali. Gambar itu sangat lucu. Seorang gadis kecil yang sedang memakai seragam sekolah SD yaitu merah, putih. Pipinya tembem dan rambutnya di kepang dua.
“Sepertinya ini bagus juga.” kataku sambil menggunting gambar itu.
Setelah selesai menggunting gambar itu, aku menyelipkannya ke dalam buku. Keesokan pagi, saat pelajaran B.Inggris kami mengumpulkannya untuk di jadikan sebuah pohon keluarga. Sebelumnya aku memberikan nama pada gambar gadis kecil itu.
“Wah Il, ko gambarnya mirip sama kamu.” kata Ratri dan Zahra.
“Masa sih ?” kata ku membantah.
“Iya, waktu dulu kan kamu suka di kepang dua, terus pipinya tembem lagi.” Kata teman – teman yang lain.
Karena pembuatan pohon keluarga akan dimulai, dengan cepat aku memutuskan nama yang tepat untuk gambar ini. Aku memutuskan untuk memberi nama Upi. Mungkin karena pipi tembemnya itu.
“Il, aku manggil kamu Upi aja ya. Soalnya gambarnya mirip sama kamu sih.” kata Ratri.
“Wah lucu juga.” kata Nisa.
“Terserah.” kataku asal.
Entah kenapa panggilan Upi berlanjut hingga bulan-bulan berikutnya. Padahal nama asliku adalah Ilya Rosdiana. Tentu saja itu sangat ganjil. Walaupun begitu teman dekat tetap memanggilku Upi tapi tidak dengan teman-teman yang lain. Setahun telah berlalu. Aku masuk kelas enam, kebiasaan memanggil Upi malah menular ke teman- teman yang lain. Aku sih tidak keberatan. Panggilan Upi ku anggap sebagai panggilan sayang dari teman-temanku.
Saat yang menyedihkan akhirnya datang juga, yaitu berpisah dengan teman SD. Dan masuk ke dunia dewasa yaitu masa SMP. Masa dimana anak-anak beranjak dewasa, mulai mandiri dan mencari jati diri. Ratri, Nisa dan Nurma satu sekolah dengan aku, tapi aku dan mereka berbeda kelas.
“Hai, Nama ku Ilya” kataku saat berkenalan dengan teman sekelasku.
Mereka memanggilku dengan nama Ilya, dan tak ada yang memanggilku Upi seperti saat SD dulu. Karena memang tidak ada yang tahu.
“Il, besok ada PR apa?” tanya temanku.
“Ya, guru x masuk ga?” tanya temanku lagi.
Begitulah. Berbeda saat aku masuk kelas dua. Aku sekelas dengan Ratri dan Nisa. Karena mereka sudah terbiasa memanggilku Upi, mereka tetap memanggilku Upi. Di kelas dua banyak orang yang tak ku kenal. Tapi lama kelamaan aku akrab dengan mereka, walaupun pertamanya kupikir mereka itu sombong.
Tak tahu dari mana, mereka mengikuti Ratri dan Nisa memanggilku Upi. Semakin banyak saja yang memanggilku Upi.
“Kok bisa di panggil Upi sih ?” tanya anak-anak lain kepadaku.
“Wah, kalau di ceritakan bisa satu novel.” kataku sambil bercanda.
“Kalau aku memanggil Ilya kepanjangan. Bagaimana kalau aku memanggil Upi saja. Kelihatannya lebih mudah.” kata beberapa anak.
Menurutku memang memanggil Upi itu lebih mudah disebut dari pada Ilya. Saat masuk kelas tiga walaupun banyak anak yang bukan teman dekatku ada saja yang memanggilku Upi. Kalau mereka sedang bercanda mereka menambahkan huruf L di belakang kata Upi, yang nantinya akan menjadi Upil. Aku hanya dapat tersenyum ataupun marah. Dan sekarang bertambahlah panggilanku yaitu Pie kalau dibaca menjadi Pai. Ada – ada saja ya.
Tak kusangka akan banyak yang memangilku Upi. Jika mengingat dari awal aku dipanggil Upi rasanya lucu. Padahal itu hanya panggilan iseng dari teman - teman SD tapi sampai SMP aku masih dipanggil seperti itu. Bagaimana saat aku SMA ?
Malam itu aku sedang mencari-cari sebuah gambar yang lucu untuk dijadikan tugas dari Mr.Juar. Aku mencari dari majalah bobo dan inno.
“Duh, yang mana ya?” kataku sambil mencari.
Setelah beberapa lama mencari, akhirnya kutemukan juga. Aku tertarik pada sebuah gambar yang berada pada halaman majalah inno. Gambar itu aku peroleh dari sebuah cerpen dengan judul Ibu Guru Ku Cerewet Sekali. Gambar itu sangat lucu. Seorang gadis kecil yang sedang memakai seragam sekolah SD yaitu merah, putih. Pipinya tembem dan rambutnya di kepang dua.
“Sepertinya ini bagus juga.” kataku sambil menggunting gambar itu.
Setelah selesai menggunting gambar itu, aku menyelipkannya ke dalam buku. Keesokan pagi, saat pelajaran B.Inggris kami mengumpulkannya untuk di jadikan sebuah pohon keluarga. Sebelumnya aku memberikan nama pada gambar gadis kecil itu.
“Wah Il, ko gambarnya mirip sama kamu.” kata Ratri dan Zahra.
“Masa sih ?” kata ku membantah.
“Iya, waktu dulu kan kamu suka di kepang dua, terus pipinya tembem lagi.” Kata teman – teman yang lain.
Karena pembuatan pohon keluarga akan dimulai, dengan cepat aku memutuskan nama yang tepat untuk gambar ini. Aku memutuskan untuk memberi nama Upi. Mungkin karena pipi tembemnya itu.
“Il, aku manggil kamu Upi aja ya. Soalnya gambarnya mirip sama kamu sih.” kata Ratri.
“Wah lucu juga.” kata Nisa.
“Terserah.” kataku asal.
Entah kenapa panggilan Upi berlanjut hingga bulan-bulan berikutnya. Padahal nama asliku adalah Ilya Rosdiana. Tentu saja itu sangat ganjil. Walaupun begitu teman dekat tetap memanggilku Upi tapi tidak dengan teman-teman yang lain. Setahun telah berlalu. Aku masuk kelas enam, kebiasaan memanggil Upi malah menular ke teman- teman yang lain. Aku sih tidak keberatan. Panggilan Upi ku anggap sebagai panggilan sayang dari teman-temanku.
Saat yang menyedihkan akhirnya datang juga, yaitu berpisah dengan teman SD. Dan masuk ke dunia dewasa yaitu masa SMP. Masa dimana anak-anak beranjak dewasa, mulai mandiri dan mencari jati diri. Ratri, Nisa dan Nurma satu sekolah dengan aku, tapi aku dan mereka berbeda kelas.
“Hai, Nama ku Ilya” kataku saat berkenalan dengan teman sekelasku.
Mereka memanggilku dengan nama Ilya, dan tak ada yang memanggilku Upi seperti saat SD dulu. Karena memang tidak ada yang tahu.
“Il, besok ada PR apa?” tanya temanku.
“Ya, guru x masuk ga?” tanya temanku lagi.
Begitulah. Berbeda saat aku masuk kelas dua. Aku sekelas dengan Ratri dan Nisa. Karena mereka sudah terbiasa memanggilku Upi, mereka tetap memanggilku Upi. Di kelas dua banyak orang yang tak ku kenal. Tapi lama kelamaan aku akrab dengan mereka, walaupun pertamanya kupikir mereka itu sombong.
Tak tahu dari mana, mereka mengikuti Ratri dan Nisa memanggilku Upi. Semakin banyak saja yang memanggilku Upi.
“Kok bisa di panggil Upi sih ?” tanya anak-anak lain kepadaku.
“Wah, kalau di ceritakan bisa satu novel.” kataku sambil bercanda.
“Kalau aku memanggil Ilya kepanjangan. Bagaimana kalau aku memanggil Upi saja. Kelihatannya lebih mudah.” kata beberapa anak.
Menurutku memang memanggil Upi itu lebih mudah disebut dari pada Ilya. Saat masuk kelas tiga walaupun banyak anak yang bukan teman dekatku ada saja yang memanggilku Upi. Kalau mereka sedang bercanda mereka menambahkan huruf L di belakang kata Upi, yang nantinya akan menjadi Upil. Aku hanya dapat tersenyum ataupun marah. Dan sekarang bertambahlah panggilanku yaitu Pie kalau dibaca menjadi Pai. Ada – ada saja ya.
Tak kusangka akan banyak yang memangilku Upi. Jika mengingat dari awal aku dipanggil Upi rasanya lucu. Padahal itu hanya panggilan iseng dari teman - teman SD tapi sampai SMP aku masih dipanggil seperti itu. Bagaimana saat aku SMA ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar